Wednesday, August 26, 2009

Pengembangan Standar Bangunan TK



BAGIAN 1 : Teknik Overlay

Untuk merumuskan perletakan massa bangunan pada lahan untuk TK, penulis melakukan beberapa perjalanan ke sejumlah TK di tanah air. Tulungagung, Blitar, Gianyar, Klungkung, Samarinda, Balikpapan, Palangkaraya, Sampit, Kualatungkal, Muarabulian, Polewali Mandar, Saumlaki, Masohi, Sumenep, Pamekasan, Selong, dan Yapen Waropen adalah beberapa tempat yang dikunjungi. Observasi lapangan untuk melihat pada bagian lahan yang mana sebuah bagian bangunan TK diletakkan. Kemudian dibuatkan zoning massa untuk masing-masing fungsi (sesuai warna) yang meliputi: ruang-ruang kelas, ruang guru/kepala, ruang kantor/TU, ruang bermain/speelood, KM/WC, rumah penjaga/kepala, dan area bermain di luar.
Masing-masing zoning dibuat dalam blok warna transparan untuk kemudian ditumpuk/ditumpangkan satu sama lain untuk melihat pada bagian lahan mana sebuah warna tertentu mengalami penebalan/penambahan intensitas warna.
Itulah yang saya sebut "Teknik Overlay".


Standar Bangunan dan Sarana Belajar untuk TK


Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bagian ketujuh: Pendidikan Anak Usia Dini, pasal 28 yang berisi 6 ayat, jelas merupakan amanat dan dasar legal-yuridis pentingnya penyelenggaraan pendidikan anak usia dini jalur formal dalam bentuk Taman Kanak-kanak (TK). Namun kuatnya sandaran yuridis ini tidak lantas menjamin implementasi kebijakan dan program menjadi mudah.
Penyelenggaraan pendidikan TK di Indonesia hingga saat ini menghadapi beberapa persoalan mendasar, yaitu:
  • rendahnya partisipasi anak masuk TK
  • kurangnya ketersediaan guru TK
  • kurangnya kesadaran orang tua tentang pentingnya pendidikan TK
  • banyaknya terjadi miskonsepsi dalam penyelenggaraan pendidikan di TK


Berdasarkan data Balitbang Depdiknas tahun 2007, dari sekitar 48-ribuan TK di Indonesia, 98% di antaranya dikelola swasta, sementara yang 2% merupakan TK pemerintah (pembina/percontohan). Akibatnya penyelenggaraan dan pengelolaan TK menjadi sangat beragam, termasuk dalam hal penyediaan dan penggunaan sarana fisik untuk menunjang proses pembelajarannya. Kondisi tersebut akhirnya menyulitkan pemerintah untuk mengawasi dan memperbaiki kekeliruan yang terjadi di dalamnya.
Kurangnya kesempatan akses untuk menikmati pendidikan TK juga terlihat dari data bahwa dari 7,7 juta anak usia TK (5-6 tahun), hanya 23% (1,8 juta) saja yang tertampung di TK. Akibatnya, angka mengulang kelas pada kelas-kelas awal SD (kelas 1,2, dan 3) juga cukup tinggi. Angka tersebut adalah 34% untuk kelas 1 SD, 20% untuk kelas 2 SD, dan 16% untuk kelas 3 SD. Hal ini juga disebabkan antara lain oleh fakta bahwa dari 4,5 juta siswa kelas 1 SD tahun 2007, hanya 41% (1,9 juta) saja yang menempuh TK terlebih dahulu, sementara yang 59% langsung masuk SD.

Persoalan semakin jelas, ketika Peraturan Mendiknas No.24 tahun 2007 diterbitkan pada 28 Juni 2007. PerMen yang mengatur Standar Sarana dan Prasarana untuk SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA itu, tidak menyinggung sedikitpun tentang kebutuhan akan standar sarana pendidikan untuk TK.
Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa kebutuhan akan Standar Bangunan dan Sarana Belajar untuk TK adalah kebutuhan yang mendesak.